oleh T. Austin-Sparks
Bab 1 – Iman dalam Kristus dalam Hubungannya dengan Tujuan Ilahi
“… supaya aku hidup untuk Allah … Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” Galatia 2:19-20.
Mari kita sejenak merenungkan pernyataan terkenal itu: “… supaya aku hidup untuk Allah … aku hidup: tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang … adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah …”
Saya pikir ini adalah perkara yang memang sangat penting bahwa kita harus mengenali aspek objektif dari iman Rasul, dan dari iman yang juga ada di dalam kita. Maksud saya bahwa Tuhan Yesus adalah objek dari iman seperti yang disajikan di sini, dan itu membuat iman menjadi objektif, dan jika kita memahaminya sebagaimana mestinya, dengan jelas dan kuat, itu akan membuat kita sangat aman, dan itu akan membebaskan banyak umat Tuhan dari bahaya yang begitu sering menimpa mereka itu.
Sekarang perhatikan: Rasul berkata, “Aku telah disalibkan dengan Kristus …”; tidak, aku sedang disalibkan dengan Kristus; tidak, aku akan disalibkan dengan Kristus; tidak, aku pernah mulai disalibkan dengan Kristus dan akan terus disalibkan dengan Kristus sampai akhir. Itu bukanlah apa yang dikatakan, melainkan, “Aku telah disalibkan dengan Kristus.” Apa yang ia maksudkan adalah bahwa hal itu telah dilakukan secara total ketika Kristus disalibkan; bukan bahwa sebagian dari diri saya telah disalibkan, dan masih lebih banyak lagi yang tersisa untuk disalibkan, melainkan keseluruhannya telah disalibkan di dalam Dia. Sekarang katanya, pada dasarnya, aku telah dengan pasti menerima itu sebagai hal yang penuh dan lengkap, suatu kenyataan: di dalam Anak Allah, yang mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku, aku telah disalibkan. Di sanalah kehidupan iman dimulai. Hal itu telah dilakukan.
Oleh karena itu, ini bukanlah bisnis saya untuk mencari setiap hari untuk disalibkan, untuk memperhitungkan diri saya sendiri dan menjaga diri saya dalam segala diri saya ini menurut alam dalam pandangan, agar diri ini dapat disalibkan: semua itu sepenuhnya beristirahat pada-Nya, saat saya menaruh iman di dalam-Nya. Itu bukan bisnis saya, itu adalah bisnis-Nya. Aku telah disalibkan, aku hidup; tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Sekarang posisi saya adalah satu yang dari iman di dalam Dia, yang di dalam diri-Nya sendiri membawa saya kepada Salib, di dalam siapa saya telah disalibkan, yang menyerahkan diri-Nya untuk saya; iman di dalam Dia, bahwa Ia akan menyempurnakan segala sesuatu yang menyangkut diri saya. Saya menaruh iman di dalam-Nya secara objektif sebagai seseorang yang, sementara di dalam diri saya, terhubung dengan saya, namun demikian terpisah dari diri saya di dalam diri-Nya sendiri. Iman di dalam Dia untuk membuat segala sesuatu menjadi baik terikat dengan Salib itu. Ini bukanlah perkara kekhawatiran saya, kepedulian saya, keresahan saya, kecemasan saya, ketegangan saya, tetapi oleh iman di dalam Anak Allah.
Sekarang jika saudara memiliki pertanyaan tentang apakah itu arti kata yang ada di sini, dan nilainya, saudara hanya perlu melihat konteksnya. Dalam hubungan apa Paulus mengatakan ini? “Aku telah mati oleh hukum Taurat untuk hukum Taurat … aku telah disalibkan dengan Kristus.” Hubungannya adalah dengan hukum Taurat. Apa tujuan dan objek hukum Taurat? Hukum Taurat itu baik, dan hukum Taurat itu sempurna, dan hukum Taurat itu dimaksudkan untuk menjadikan kita serupa Allah, untuk mereproduksi kesalehan atau keserupaan dengan Allah, atau ciri-ciri saleh di dalam diri kita. Hukum Taurat adalah ekspresi pikiran Allah, apa pikiran dan sikap Allah terhadap hidup, baik melawan banyak hal maupun untuk banyak hal. Jadi hukum Taurat itu dimaksudkan untuk membuat manusia suci, untuk membuat manusia sempurna, dan Rasul menerapkan dirinya sendiri kepada hukum Taurat agar menjadi kudus, untuk menjadi sesuai dengan pikiran Allah. Ia menemukan bahwa hukum Taurat tidak dapat menghasilkan ini, karena siapa diri dia sendiri. Paulus membuat hal ini jelas dalam suratnya kepada jemaat di Roma, di mana ia menunjukkan bahwa kegagalan hukum Taurat adalah “karena tak berdaya oleh daging.” Namun demikian, itu adalah objek hukum Taurat.
Hukum Taurat, kemudian, telah gagal karena manusia yang tak berdaya; tetapi ada Anak Allah yang berdaya. Aku telah disalibkan bagi hukum Taurat, untuk hidup bagi Anak Allah yang berdaya. Hukum Taurat ditukar dengan Anak Allah. Anak Allah menggantikan hukum Taurat. Hukum Taurat tidak dapat menjadikan serupa dengan Allah, tetapi Anak Allah yang berdaya dapat melakukannya, dan itu karena Ia hidup di dalam saya. Hukum Taurat tidak menemukan apa pun di dalam diri saya tentang kekuatan, kapasitas, kemampuan untuk memuaskan Allah. Di situlah hukum Taurat gagal, sebab tidak ada apa-apa di dalam diri saya. Tetapi sekarang Kristus hidup di dalam diri saya; dan saya hidup; “tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” Bukan kemudian dengan berusaha keras untuk mematuhi hukum Taurat, yang selalu berarti kegagalan, tetapi dengan percaya kepada Anak Allah, saya mencapai tujuan Allah, dan datang ke tempat di mana hukum Taurat itu dimaksudkan untuk membawa saya, tetapi gagal melakukannya sebab tidak ada kekuatan, tidak ada kebaikan di dalam diri saya. Tetapi sekarang saya mencapai akhir itu karena Kristus ada di dalam diri saya dan mampu membawa saya kepadanya, dan semua yang diperlukan adalah bahwa saya menaruh iman yang mutlak di dalam-Nya, tidak terus-menerus mengkhawatirkan penyaliban diri saya. Itu telah dilakukan di dalam Kristus, dan saya menyerahkan segala pekerjaan itu kepada-Nya. Oh, bahaya yang tak terbatas, banyaknya bahaya dalam kesadaran diri itu yang lahir dari jenis subjektivitas yang salah, subjektivitas yang disibukkan dengan siapa diri kita itu dan bukan diri kita itu, bukannya jenis subjektivitas yang benar. Kristus adalah subjeknya di dalam, dan saya sibuk dengan-Nya – “iman di dalam Anak Allah”; sibuk, bukan dengan ketidaksempurnaan diri saya, tetapi dengan kesempurnaan-Nya; bukan dengan kelemahan saya, tetapi dengan kekuatan-Nya; bukan dengan ketidak-mampuan saya, tetapi dengan kuasa-Nya; bukan dengan diri saya sendiri sama sekali bagaimana pun juga, tetapi dengan Dia. Kesibukkan orang beriman adalah dengan Anak Allah, “yang mengasihi aku, dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.”
Jadi kita tidak boleh ditemukan sibuk dengan keadaan kita saat ini, atau kapan pun. Ini mungkin saja untuk menjadi sibuk dengan diri kita sendiri ketika kita merasa baik-baik saja, dan berkata, Kita merasa lebih baik hari ini. Itu bisa menjadi dasar yang sama fatalnya bagi musuh untuk menangkap kita dengan kita yang sibuk dengan sisi menyedihkan dari keberadaan kita. Tidak, tidak baik, buruk, atau acuh tak acuh; tidak ada fase atau ciri dari diri kita sendiri dan kondisi kita sendiri yang harus menahan kita pada saat apa pun, melainkan kita harus selalu “dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan.”
Kristus hidup! Di situlah kita mulai. Kemudian, Kristus hidup di dalam aku! Dan setengah bagian lainnya dari pernyataan itu adalah, aku hidup oleh iman di dalam Dia. Ia hidup di dalam diriku; aku hidup di dalam Dia, oleh iman. Paulus, seperti yang saudara perhatikan, menarik semua kekuatan menjauhi dari “aku” itu di sini. “Namun aku hidup”; dan kemudian, bisa dikatakan, ia setengah menelusuri kembali langkahnya, dan berkata, “tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup.” Ini seolah-olah ia takut akan “aku” itu. Aku hidup; ya, aku hidup; tetapi – “tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus …” Ia segera menarik semua kekuatannya menjauhi “aku” itu dan meletakkan semuanya pada “Kristus”. Itulah kehidupan iman. Mari kita ingat bahwa ini bukanlah iman sebagai sesuatu yang abstrak, yang bernilai apa pun. Memang, kita mungkin melangkah lebih jauh dengan mengatakan itu bukan iman dalam dirinya sendiri sama sekali. Hal yang membuat iman menjadi bajik dan efektif adalah objeknya. Ini bukanlah iman, tetapi objek iman itu, yang adalah faktor utamanya. Paulus tidak berhenti dan berkata, aku hidup oleh iman. Ia membuatnya sangat jelas, sangat tegas: “iman dalam Anak Allah.” Anak Allah! Gelar yang lengkap; Allah dalam ekspresi sebagai Anak, yaitu, Allah dalam perwujudan. Ini sangatlah tidak mungkin bagi Allah di dalam diri-Nya sendiri, dan apa Dia itu dalam wujud esensial-Nya, untuk tinggal di dalam kita, untuk dihubungkan dengan kita. Ini tidak akan pernah bisa terjadi. Ia harus datang dengan cara yang memungkinkan persatuan-Nya dengan kita, dan cara itu ada di dalam ekspresi Anak ini.
Dalam surat kepada jemaat di Galatia ini, ada tiga orang yang menonjol. Yang satu, tentu saja, lebih besar dari, dan melampaui semua yang lain, adalah Anak Allah, Yesus Kristus. Ia berdiri di sana sebagai tokoh sentral yang mendominasi. Tetapi kemudian, di hadapan-Nya, di kedua sisi, ada dua tokoh besar lainnya, Abraham dan Paulus, dengan Tuhan Yesus, bisa dikatakan, berdiri di atas mereka, dengan satu tangan bertumpu pada masing-masing. Ada persatuan di antara mereka. Paulus berdiri juga bergandengan tangan dengan Abraham. Dalam surat ini, Paulus sungguh bergandengan tangan dengan Abraham, seperti yang akan saudara lihat, berdiri di atas dasar iman yang sama dengan Abraham, menghubungkan diri di atas dasar itu, dan kemudian iman menjadi faktor besar dalam surat itu.
Ayat kedua puluh dari pasal 2 ini adalah ayat yang mengatur segalanya. Ayat ini mengumpulkan dan meringkas seluruh surat kepada jemaat di Galatia ini. Semua yang ada di dalam surat itu dikumpulkan ke dalam ayat itu. Kita akan melihatnya dalam beberapa ukuran saat kita melanjutkan.
Sekarang ada tujuh hal yang dibawa oleh iman kepada Abraham, dan Paulus memegang tangan Abraham selama bertahun-tahun, dan di atas dasar iman yang sama membuatnya sangat jelas bahwa iman telah membawanya ke dalam hal-hal yang sama itu; ia bersama Abraham di sana. Persoalannya adalah bahwa Jemaat dipanggil kepada dasar tujuh kali lipat dari iman itu, sebab Jemaat dalam kepenuhannya yang khas datang masuk melalui Paulus; maksud saya, sejauh mana wahyu bersangkutan.
Mari kita melihat pada ketujuh hal ini, mengatakan suatu kata singkat tentang masing-masing.
Pertama, iman membawa Abraham ke dalam kesatuan dengan tujuan Ilahi. Ada tujuan yang berdaulat di dalam hati dan pikiran Allah ketika Ia menampakkan diri kepada Abram di Ur-Kasdim, dan semua kegiatan Allah dengan Abraham adalah dengan tujuan itu dalam pandangan. Apa tujuannya? Tujuannya adalah benih sorgawi dalam persatuan dengan Anak Allah.
Sekarang, mari kita merujuk pada satu atau dua bagian: Pasal 3:7, 16, 26-29. Saudara melihat tujuannya, benih sorgawi yang bersatu dengan Anak Allah. Ketaatan iman Abraham membawanya ke dalam kesatuan yang aktif dan bekerja dengan tujuan besar Allah itu. Saya katakan Allah datang dengan tujuan, dan Allah membuat sebuah pernyataan, tetapi kita tahu betul bahwa itu membutuhkan iman, dan iman yang sejati, karena itu menuntut gerakan besar di pihak Abraham, agar tujuan Allah menjadi kenyataan melalui dia. Allah mungkin memiliki tujuan yang besar: Ia memiliki tujuan besar mengenai Jemaat, dan dalam arti yang terkait, Ia mungkin memiliki tujuan mengenai kita masing-masing: mungkin ada pelayanan yang diberikan Allah kepada kita sehubungan dengan tujuan-Nya, dan itu menjadi tujuan hidup kita sendiri; tetapi dengan segala tujuan yang ada di dalam hati Allah, hal ini menjadi tidak berfungsi sementara iman tidak ada di dalam diri kita. Ini ditahan dalam ketegangan sampai iman dijalankan di pihak kita. Pemenuhan semua tujuan Ilahi menuntut iman, dan hanya bisa atas dasar iman. Iman membawa Abraham ke dalam kesatuan dengan tujuan besar Allah itu, dan iman juga diperlukan untuk membawa kita ke dalam kesatuan yang aktif, baik dengan seluruh tujuan maupun dengan bagian itu yang secara khususnya berhubungan dengan kita dalam pemikiran Allah. “Tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah”; dan perkenanan Allah ditemukan dalam perwujudan tujuan-Nya.
Kedua, iman membawa Abraham ke dalam kesatuan dengan metode yang Allah maksudkan untuk digunakan di sepanjang jalan dalam pemenuhan tujuan-Nya. Apa itu dan apakah metode Allah itu? Ini adalah pemisahan dari bumi dan alam, dan persatuan dengan sorga (Galatia 4:25-26; 6:14-15). Ada dunia, bumi dan alam, semuanya terpotong oleh Salib: ada pemisahan darinya dan persatuan dengan sorga. Kita tahu cukup tentang kehidupan Abraham untuk mengetahui bagaimana Allah benar-benar mengikuti metode itu dengannya: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini …” Tapi itu hanyalah awal dari keluarannya. Prinsip itu diterapkan tepat sampai akhir – keluar, keluar, lebih dan lebih keluar lagi; keluar dari yang duniawi, keluar dari apa yang dari dunia ini, keluar dari dirinya sendiri, pikirannya sendiri, penilaiannya sendiri, “aku”-nya ini. Dan kemudian, persatuan dengan sorga; persatuan dengan sorga yang bertumbuh dan mendalam. Itulah cara Allah mewujudkan tujuan-Nya. Sekarang jika ada satu hal lebih dari yang lain yang benar-benar mencirikan Jemaat, sebagai Tubuh Kristus, ini adalah bahwa, di satu sisi, Jemaat itu ada di luar, dari dunia dan yang duniawi dan alami, dan di sisi lain, Jemaat itu ada dalam persatuan dengan sorga, Jemaat itu bersifat sorgawi. Iman membawa Abraham ke dalam kesatuan dengan metode Allah, dan ini sangat jelas bahwa kecuali ada iman, kita tidak akan sampai pada dasar itu. Ini membutuhkan banyak iman, iman untuk hidup dengan kaki saudara terlepas dari bumi secara rohani; sebab di mana tidak ada iman, atau di mana ada keruntuhan iman, kita akan pergi ke Mesir seperti yang dilakukan Abram, kita akan berpaling kepada Hagar seperti yang dilakukan Abram, kita akan mencari cara-cara yang berwujud dan dapat dirasakan untuk mewujudkan tujuan-tujuan Ilahi, kita akan bersandar pada beberapa sumber daya duniawi. Maka, demikianlah, jalan iman, jalan tujuan kekal. Kedua hal itu berjalan bersamaan. Di Efesus, kita memiliki tujuan kekal dan posisi sorgawi Jemaat. Paulus bergandengan tangan dengan Abraham di atas dasar itu, dan keduanya dihubungkan dengan Kristus sorgawi, di luar dunia ini dan di sorga.
Itu sudah cukup tentang poin itu untuk saat ini, tetapi saudara dapat melihat Galatia 2:20 di dalam semua ini. “Aku telah disalibkan …”: Aku telah dikeluarkan dari diriku sendiri, dan aku telah dikeluarkan dari dunia; “namun aku hidup; tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup … Kristus yang hidup di dalam aku.” Apa pun hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah. Hidupku ada di sorga; hidupku ada di luar semua yang ada di sini.
Ketiga, iman membawa Abraham ke dalam kesatuan dengan sarana Ilahi. Dengan cara apa Allah mencapai tujuan-Nya di dalam umat-Nya? Apa cara Allah untuk mencapai tujuan-Nya? Ini adalah oleh Roh Anak melalui Salib (Galatia 4:6-7, 18; 3:14). Ada lebih banyak lagi dalam surat ini tentang Roh Kudus, tetapi penekanan utama sehubungan dengan Roh dalam Galatia adalah Roh Anak. Roh Anak Allah ada di sini sangat menonjol sebagai Roh Anak di dalam hati kita, dan tidak ada harapan untuk mencapai tujuan Allah, atau bahkan untuk mengambil langkah pertama ke arah itu, tanpa Roh sebagai Roh Anak. Pertama, harus ada tangisan bayi itu, “Bapa!” Harus ada hubungan itu yang dibawa oleh Roh. Kemudian Roh Anak, begitu Ia ada di dalam kita, harus berjalan sepenuhnya untuk membentuk Kristus di dalam kita. Jadi dalam surat ini Rasul berkata, “Hai anak-anakku, karena kamu aku menderita sakit bersalin lagi, sampai rupa Kristus menjadi nyata di dalam kamu.” Memang, kita dapat mengatakan bahwa itu adalah kesempatan dari surat ini, bahwa jemaat di Galatia ini jatuh dari kehidupan di dalam Roh itu sebagai anak-anak yang akan membawa mereka kepada akhir penuh Allah. Rasul sedang dalam kesulitan atas perkara ini. Ini bukanlah sebuah kasus pergumulan saya menuju tujuan Allah, tetapi tentang Roh Anak Allah di dalam diri saya yang menggerakan menuju tujuan Allah. Oh, bahwa kita memiliki iman di sini. Jika saudara benar-benar memiliki iman pada poin khusus ini, saudara akan memiliki rahasia perhentian yang mendalam.
Saudara tahu, kita memiliki waktu “mati” kita secara rohani; waktu “mati” dalam kehidupan doa ketika tampaknya mustahil untuk berdoa, waktu “mati” dalam banyak hal lain secara rohani. Tidak peduli sebagaimana kita berjuang, kita tidak bisa menghasilkan apa-apa. Apa yang akan kita lakukan? Nah, jika pengalaman saya berharga bagi saudara, karena saya percaya saya telah menemukan sedikit rahasia hal-hal, saya telah sampai pada posisi ini: Melalui Roh, Kristus ada di dalam diri saya, dan segala sesuatu ada bersama Dia, bukan dengan diri saya. Ini bukanlah apa yang bisa saya lakukan, atau apa yang tidak bisa saya lakukan, atau bagaimana kabar diri saya hari ini; semuanya ada pada-Nya. Hari ini mungkin saya tidak sadar akan kediaman-Nya, tetapi sebaliknya sangat tidak sadar akan kediaman-Nya, dan sangat sadar akan hal-hal lain yang bukan Kristus. Nah, itu adalah keadaan saya; tetapi Ia setia, Ia benar; Ia telah memberi saya jaminan tertentu tentang tidak pernah meninggalkan atau mengabaikan saya, dan tentang menetap sepanjang hari sampai akhir, dan Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus. Ia yang memulai hal ini, bukan saya yang memulainya; Ia melakukan hal ini. Sebelum saya memiliki keberadaan – Ia telah berjanji untuk melaksanakan pekerjaan-Nya yang sempurna di dalam diri siapa pun yang mau percaya kepada-Nya. Itu semua telah dilakukan sebelum saya melihat cahaya terang: sehingga saya tidak memulai ini, ini tidak dimulai dengan saya. Satu hal yang harus saya lakukan adalah untuk percaya kepada-Nya, percaya kepada-Nya, dan jika saya tidak dapat menerobos, berkata, Tuhan, aku tidak dapat berdoa saat ini, aku harus percaya kepada-Mu untuk melakukan segala doanya.
Tidak seorang pun yang benar-benar menaruh hati mereka kepada Tuhan akan memegang pernyataan seperti itu sebagai jalan keluar dari doa. Saya tidak sedang mencoba memberi saudara alasan untuk berhenti berdoa. Saya mengatakan ada saat-saat “mati,” dan saya tidak yakin bahwa Tuhan tidak akan mengizinkan kita untuk memiliki saat-saat seperti itu agar kita tidak mulai membangun lagi di atas pekerjaan. Ia membawa kita langsung keluar dari dasar itu dan melemparkan diri kita kepada diri-Nya sendiri, di mana tidak ada alternatif selain percaya kepada-Nya. Saudara tidak menyerahkan kehidupan doa saudara dalam mengambil jalan itu pada saat seperti itu. Jika saudara dapat berdoa, saudara akan melakukannya, tetapi sekarang dalam masa ketidak-mampuan yang nyata saudara hanya mempercayai Tuhan tentang hal itu. Saya menemukan bahwa saya memiliki saat-saat “mati” ini, tetapi karena saya benar-benar percaya kepada Tuhan, dan berkata, “Tuhan, ini adalah tanggung jawab-Mu, dan aku tahu ini tidak akan bertahan lama; kehidupan doa itu akan datang kembali, dan aku mempercayakan-Mu untuk sementara ini”, kehidupan doa itu sungguh datang kembali, dan dalam kepenuhan yang lebih besar dan berkat yang lebih besar. Yang kekasih, saya telah membuktikannya berulang kali. Kehidupan doa itu datang kembali. Ini bukan sekedar saudara merasa lebih baik dan memulai lagi. Saudara tahu betul bahwa saudara mungkin sangat bugar namun tidak dapat berdoa. Tidak ada yang bisa membuat doa. Ini bukanlah masalah kesehatan dan kekuatan untuk bisa berdoa. Saudara mungkin seorang laki-laki atau perempuan yang sangat kuat, tetapi saudara tidak dapat masuk ke sorga dalam doa karena saudara demikian. Doa berkaitan dengan langit terbuka, doa adalah persekutuan dengan Tuhan; dan itu adalah perbuatan-Nya, bukan perbuatan kita. Ia membawa itu. Percayalah kepada-Nya. “Aku hidup; tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku”; Ia memiliki seluruh masalahnya di tangan. Sementara sikap saya adalah iman di dalam Dia, Ia akan memastikan bahwa ada kehidupan doa, Ia akan memastikan bahwa ada hidup di dalam Firman. Iman positif di dalam-Nya adalah rahasia dari segala sesuatu di dalam kehendak Allah.
Kami akan meninggalkan sisanya untuk sementara waktu. Iman membawa ke dalam kesatuan dengan tujuan Ilahi, dengan metode Ilahi, dengan sarana Ilahi. Tujuannya adalah benih sorgawi yang bersatu dengan Anak Allah. Metodenya adalah pemisahan dari bumi dan alam, dan persatuan dengan sorga. Sarananya adalah Roh Anak melalui Salib. Semua itu ada di Galatia 2:20. “Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” Dan Ia akan memastikan saya melaluinya!
Sesuai dengan keinginan T. Austin-Sparks bahwa apa yang telah diterima secara bebas seharusnya diberikan secara bebas, karya tulisannya tidak memiliki hak cipta. Oleh karena itu, kami meminta jika Anda memilih untuk berbagi dengan orang lain, mohon Anda menghargai keinginannya dan memberikan semua ini secara bebas - tanpa d'ubah, tanpa biaya, bebas dari hak cipta dan dengan menyertakan pernyataan ini.