Austin-Sparks.net

Tidak Mengetahui Tempat yang Ditujui

oleh T. Austin-Sparks

Diedit dan disediakan oleh Golden Candlestick Trust. Judul asli: "Not Knowing Where...". (Diterjemahkan oleh Silvia Arifin)

“Karena iman Abraham taat, ketika ia dipanggil untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik pusakanya, lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui” (Ibrani 11:8).

“Ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui” Ketiga kata-kata itu adalah gambaran yang sangat tepat tentang kehidupan Kristen, dalam semua tahap-tahapnya: permulaannya, kemajuannya dan perkembangannya, dan dalam penyempurnaannya – tidak mengetahui tempat tujuannya.

Kita memiliki, pada awal kehidupan Kristen, ide-ide kita sendiri tentang apa yang akan terjadi, apa artinya; mungkin beberapa gagasan tentang jalan yang akan kita ambil, dan ke mana jalan itu akan memimpin kita. Kita belum berjalan terlalu jauh atau terlalu lama sebelum kita mulai menemukan bahwa kita telah diluncurkan ke atas laut yang perkasa yang belum pernah kita lintasi sebelumnya dan yang untuknya belum ada jawaban apa pun yang diberikan kepada kita tentang pertanyaan: Ke mana? Dan Apa? Dan Mengapa? Ini seolah-olah Kapten kapal baru saja memanggil kita dan bertanya apakah kita akan ikut. Apakah kita akan ikut?

Kita menjawab, “Mau kemana?”

Ia berkata, “Itu urusan-ku, bukan urusan-mu.”

“Apa yang akan kita temui di jalan?”

“Tidak ada yang dapat diberitahukan kepadamu tentang itu.”

“Itu akan makan waktu berapa lama?”

“Maaf, aku tidak dapat memberikan informasi apa pun; kamu harus mempercayakan diri-mu dengan yakin ke dalam tangan-ku, dan menyerahkan semua pertanyaan itu untuk aku jawab dan untuk dijawab sambil kita berjalan.”

Kehidupan Kristen seperti itu; memang seperti itu pada awalnya. Harus seperti itu. Apa yang telah kita baca tentang iman, dan khususnya iman Abraham, hanyalah seperti itu. Seseorang telah berbicara tentang panggilan dan perjalanan Abraham sebagai yang dengan ‘perintah tersegel.’ Kita tahu apa artinya itu. Entah Kapten kapal, atau pemimpin suatu ekspedisi, hanya diberikan sebuah amplop; ia diperintahkan untuk tidak membuka amplop ini atau membacanya untuk beberapa saat, atau sampai ia mencapai titik ini dan itu. Semua yang diperintahkan kepadanya untuk lakukan adalah untuk pergi, dan untuk pergi ke arah tertentu. Ia tidak tahu untuk apa, ia tidak tahu tempat tujuannya; ia tidak tahu apa-apa selain ini, bahwa ia harus memulai ke arah tertentu, di bawah perintah, dan meninggalkan yang lainnya untuk sementara waktu.

Ini seperti itu dalam kehidupan Kristen sejak awal. Di sepanjang jalan, berulang kali, kita tergoda untuk bertanya, jika kita tidak benar-benar bertanya, “Ke mana ini mengarah? Apa artinya ini? Mengapa ini?” Dan tidak ada jawaban yang kembali. Semua yang kita miliki hanyalah ini: telah lahir di dalam diri kita suatu rasa panggilan, suatu rasa dorongan, suatu penarikan, suatu rasa takdir. Paulus menyebutnya ‘ditangkap’, dan itu adalah kata yang digunakan polisi; mungkin tidak ada dari saudara yang tahu tentang itu, tetapi saudara mungkin pernah melihatnya terjadi. Dan saudara tahu bahwa ketika tangan hukum itu diletakkan di atas bahu atau lengan, tidak ada yang bisa dilakukan selain menyerah pada dorongan itu. Saudara ditangkap, dan lebih dari kekuatan satu tangan manusia telah memegang saudara; semua otoritas dan kekuasaan Negara ada di tangan itu, dan saudara hanya harus menyerah; itu adalah sebuah penangkapan.

Petrus dan Yohanes dan yang lainnya akan mengatakannya dengan cara lain, mereka akan berkata: “Aku mendengar panggilan-nya, ‘Mari, ikuti!’ Dan panggilan itu membawa sesuatu dengannya yang tak tertahankan; aku hanya harus ikut pergi.” Bagaimanapun itu, dengan apapun kita menyebutnya, ini seperti itu: suatu perasaan bawaan bahwa kita tidak lagi memiliki hidup kita di dalam tangan kita sendiri. Seseorang telah mengambil hak istimewa itu dari tangan kita ke dalam tangan-Nya, tetapi ini adalah sesuatu yang batiniah. Ini seperti naluri migrasi dalam burung-burung: naluri itu terbangun dan tidak ada istirahat, tidak ada penetapan, naluri ini mendorong, memaksa maju. Dan disadari bahwa untuk melawan dorongan itu berarti untuk menggagalkan takdir, dan untuk membatasi sesuatu yang lebih dari ambisi manusia, sebab ini bukanlah jalan pilihan kita; ini bukanlah kehendaknya, jalan yang akan kita ambil, memang, kita akan menetap.

Para naturalis memberi tahu kita tentang burung tertentu, pada musim migrasi, yang bergerak sedemikian jauhnya; mereka pergi ke Cornwall di mana mereka merasa ada semacam jawaban untuk keinginan batiniah akan kehangatan itu, iklim yang lebih hangat. Suatu ketakutan telah masuk ke dalam diri mereka tentang perjalanan yang jauh, menyeberangi laut, dan semua yang terlibat. Mereka berpikir bahwa mereka telah menemukan jawabannya yang lebih dekat sehingga mereka hanya pergi sedemikian jauhnya lalu menetap, dan binasa di musim dingin. Saya pikir ini adalah sebuah perumpamaan. Ada banyak dalam surat kepada orang Ibrani tentang hal ini, bukankah demikian: dorongannya, “Mari kita berjalan terus …” mari kita berjalan terus; dan peringatannya, “Jangan terima apa pun yang kurang dari apa yang ditunjukkan oleh dorongan itu.” Itu adalah Abraham.

Abraham dikuasai oleh ini seluruhnya. Ia benar-benar datang ke dalam negeri itu, apa yang Alkitab sebut Kanaan, Tanah Perjanjian; tetapi saudara perhatikan bahwa ia adalah seorang yang sangat tua ketika Ishak dilahirkan, dan seorang yang jauh lebih tua ketika anak laki-laki Ishak, Yakub, dilahirkan, tetapi ia tidak pernah berhenti hidup di dalam kemah sampai pada saat itu; dan ia meninggal ketika masih hidup di dalam kemah. “Ia menanti-nantikan kota …”. Ada banyak kota-kota di Kanaan, tetapi dikatakan, ‘ia menanti-nantikan kota yang direncanakan dan dibangun oleh Allah’; kota-kota ini bukanlah kota Allah. Hal itu masih berlangsung, sesuatu yang aneh ini, yang harus saudara dan saya ketahui, bahwa kita tidak pernah bisa memaksa diri kita sendiri untuk menetap pada sesuatu yang kurang dari apa yang telah kita dipanggil kepada. Memang seperti itu, tapi betapa banyaknya yang terlibat.

Betapa banyaknya yang terlibat bagi Abraham – melepaskan – yang merupakan masalah dan kesulitan besar dari hidup kita, bukankah demikian? Untuk melepaskan. Untuk melepaskan yang sementara untuk yang rohani. Untuk melepaskan yang duniawi untuk yang sorgawi. Untuk melepaskan yang segera untuk yang kekal – yaitu untuk memasuki dunia lain dari dunia yang kita kenal. Yaitu untuk tunduk pada prinsip-prinsip hidup yang baru dan tidak biasa, untuk mentaati motif-motif baru; ini adalah dunia lain. Oh, konflik yang berkecamuk di sekitar migrasi ini, di sekitar perjalanan “tidak mengetahui tempat tujuannya” ini. Dan konflik itu dimulai dan memiliki dasar yang sebenarnya di dalam jiwa kita sendiri, apa yang disebut Perjanjian Baru, ‘daging’ kita. Apakah tidak benar bahwa kehidupan alami ini (yang berarti jiwa, daging) sangat mendambakan keamanan? Dan saran untuk ‘tidak mengetahui’ sesungguhnya bertentangan dengan semua naluri kita untuk keamanan.

Lihatlah Abraham. Di Kasdim, ada dua ribu dewa-dewa: itulah kehidupan alaminya, dan setiap dewa-dewa itu didedikasikan untuk kehidupan yang berkesadaran dalam beberapa bentuk. Itu adalah kehidupan yang dapat saudara lihat, yang dapat saudara pegang, yang dapat saudara miliki dengan segera untuk kepuasan saudara. Begitu banyaknya aspek dari kehidupan alami ini sehingga itu semuanya adalah ini: “Tidak, jangan meminta kami untuk menjelajah ke yang tidak diketahui; kami harus memiliki yang diketahui. Kami harus memiliki apa yang dapat kami pegang, apa yang dapat kami lihat, dan apa yang ada di sini dan sekarang.” Itu adalah jiwa yang alami, bukankah demikian? Kita seperti itu. Dan ketika kita dipanggil keluar ke dalam suatu kehidupan dan alam yang tidak kita ketahui tempat tujuannya, pertempuran muncul di dalam diri kita itu sendiri antara sorga dan bumi, kekekalan dan waktu, duniawi dan rohani.

Ini sungguh suatu hal yang luar biasa bahwa dorongan ini begitu besarnya di dalam Abraham sehingga dua ribu dewa-dewa-nya kehilangan semua kuasa mereka, meskipun mereka menawarkannya kepuasan duniawi yang sementara dan segera. “Ia taat … lalu ia berangkat dengan tidak mengetahui tempat yang ia tujui …” – sungguh suatu hal yang luar biasa bagi seorang laki-laki dalam lingkungan dan pendidikan seperti itu. Tidak heran ayah-nya Terah tidak bisa melakukannya! Ada Adam di dalam diri kita masing-masing yang tidak dapat melakukan-nya, kecuali kita mengetahui di dalam hati kita sesuatu yang luar biasa ini yang tidak dapat kita gambarkan atau definisikan, tetapi itu ada di sana. Ketika hari cobaan dan pengujian besar tiba, dan segala sesuatu tampaknya menguji, seperti yang terjadi dengan Abraham, dan tampaknya bertentangan dengan panggilan itu, dan segalanya tampaknya berseru bahwa suatu kesalahan telah dibuat, bahwa itu semua hanyalah sebuah ilusi, dan kita membiarkan pikiran-pikiran ini, gagasan-gagasan ini dan saran-saran ini untuk memengaruhi kita, kemudian kita mulai menurun, dan kita menemukan diri kita sendiri di jalan buntu, di pedalaman, di luar jalan utama. Kemudian sesuatu menyentuh kita lagi dari panggilan lama. Kita menyentuh sesuatu di dalam Firman Allah yang merupakan kehidupan kita itu sendiri sebelumnya dan hal itu di dalam kita hidup kembali, dan muncul, dan berkata, “Kita harus melanjutkan! Tidak ada gunanya, kita harus keluar dari ini dan melanjutkan!” Apakah saudara tahu itu? Itu ada di sana. Dan itu bukanlah suatu ‘itu’; itu adalah Roh Allah, berjuang, mendorong seperti itu!

Saya telah mengatakan bahwa konflik itu ada di dalam konstitusi diri kita sendiri: kita mendambakan keamanan, kita mendambakan penglihatan, kita mendambakan kekukuhan, kita mendambakan saat ini; dan semua ini mengatakan, “Tidak, tidak, kamu diluncurkan” dan tetap saja, tidak tahu ke mana, dalam arti yang sangat nyata.

Kita tidak hanya menemukan konflik itu di dalam diri kita sendiri, terutama jika kita adalah dari yang lebih praktis. Dunia juga banyak membantu kita; dunia akan membantu kita untuk tetap bersamanya. Jika kita mau pergi ke jalannya, dunia akan berteman dengan kita; jika kita dapat ditemukan memiliki di dalam diri kita keinginan apa pun untuk dunia ini, dalam posisi, dalam kemakmuran, dalam memuaskan suatu ambisi, dalam keamanan, dunia akan membantu kita, dunia akan membuat kita makmur. Kita akan maju jika kita pergi ke sana – dunia akan melayani kita. Pintu-pintu akan terbuka: fasilitas-fasilitas akan diberikan; kita akan dianggap melanjutkan, tapi, tetaplah! Ambillah satu bagian kehidupan, dan tanyakan, selama periode tertentu: Seberapa banyak sesungguhnya dari Tuhan, dan bagi Tuhan, telah memenuhi periode itu dan berapa banyak dari kehidupan ini, dan seberapa banyak dari dunia ini dan urusannya? Berapa banyak? Berapa persentase dari pengeluaran-ku dan yang dihabiskan untuk apa yang tidak akan muncul lagi dalam kemuliaan? Dan berapa proporsi dari itu yang menjawab kepada panggilan penting-ku? Saya tahu ini mungkin menimbulkan masalah dan pertanyaan praktis. Tetapi pada dasarnya ada ini: dunia ini bukanlah teman kepada mereka yang berangkat keluar dengan tidak mengetahui tempat yang mereka tujui; dunia akan sangat bersahabat dengan kita jika kita mau mengambil jalannya, tetapi jalan itu akan menahan kita.

Rasa takdir kita, tidak hanya dalam hidup tetapi dalam panggilan, harus lebih kuat daripada motif dan minat lainnya. Sedemikian rupanya sehingga segala yang dunia ini dapat tawarkan dari keamanan pura-puranya, menjadi seperti tidak ada apa-apanya – “yang kukehendaki ialah mengenal Dia … aku mengejarnya, berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah.”

Ada hal-hal lain yang akan datang di jalan. Ada, seperti yang telah kami katakan, tampaknya kontradiksi-kontradiksi yang begitu menguji. Ia datang ke negeri itu, ke mana dorongan itu telah membawanya. Ketika ia ada di sana, apa yang ia temukan? Tidak seperti yang diharapkannya secara alami; memang tidak lama kemudian ia menemukan kelaparan. Suatu kontradiksi dalam keadaan, tampaknya. Atau, sebuah Terah – unsur kehati-hatian dalam hidup. Saya membayangkan bahwa Terah selalu memperingatkan anak-nya: “Jangan menjadi seorang ekstremis! Jangan menjadi yang aneh, jangan menjadi beda dari mayoritas. Jangan pergi terlalu jauh! Hati-hati!” Apakah saudara tahu, sementara ada hikmat dan kebijaksanaan dalam kehidupan rohani, jalan bersama Tuhan ini adalah suatu perjalanan berisiko yang sangat berani yang melemparkan cukup banyak kewaspadaan ke arah angin, yang dibenarkan. Pikirkan tentang semua hamba Allah yang telah berangkat ke laut ini, tidak mengetahui tempat yang ditujuinya, yang telah menempatkan rumah, isteri, keluarga, dan prospek duniawi di satu sisi dan hanya dorongan takdir di sisi lain, dan telah memilih ini, dan pergi. Dan Allah telah membenarkan, mengambil tanggung jawab di sana. Sudah seperti itu dengan sangat, sangat banyak. Ada semacam kehati-hatian yang dapat merampas panggilan kekal kita. Terah mungkin menghalangi kemajuan kita dengan itu, dan menyebabkan kita menetap di Haran, sampai itu akhirnya telah disingkirkan dari jalan, dan kita bisa melanjutkan.

Atau, ini mungkin ciri yang diwakili oleh Lot itu, yang selalu menemani kita. Seperti yang dikatakan John Bunyan, ‘hati yang terbagi’ itu. Ya, Ia akan mendapatkan yang baik, tetapi tidak yang lain; ia akan mendapatkan keuntungan dari jalan ini, tetapi tidak kerugiannya; ia telah memperhatikan bagaimana ini akan melayaninya. Ia memiliki perasaan tentang apa yang benar dan kebenaran, tetapi saudara tahu, ini adalah mungkin, jika kata tentang Lot berarti apa-apa, untuk memiliki rasa kebenaran yang sangat kuat, dan untuk berada di tempat yang salah. “tersiksa dengan perbuatan-perbuatan mereka yang jahat itu …” – “jiwanya yang benar itu tersiksa oleh perbuatan-perbuatan mereka yang jahat itu.” Ya, setiap hari. Ini karena ia berada di luar tempat kehendak Allah. Ia seharusnya tidak pernah berada di sana. Kita bisa menjadi sangat benar, dan tidak berada di tempat yang Tuhan kehendaki, di jalan. Hati yang terbagi selalu sangat dekat dan dapat menemai seseorang dari jalan itu! Nah, demikianlah juga dengan Abraham, tapi ia berjalan terus.

Ia menghadapi banyak kesulitan-kesulitan lainnya: kelemahan tubuhnya sendiri; rahim Sarah yang telah tertutup – yang benar-benar ditekankan dalam surat kepada orang Roma. Ada kesulitan besar untuk mewujudkan tujuan dan pencapaian akhirnya. Dan setiap dari mereka, saudara perhatikan, berada di alam indera ini! “Kamu lihat, aku tidak bisa karena … lalu ini dan itu dan itu … ini hanya tidak mungkin.” Jika saudara berdebat secara manusiawi, itu tidak akan pernah bisa terjadi. Saudara dan saya tidak akan pernah memulai di jalan ini, kita tidak akan pernah mengambil langkah dan tahap baru dari komitmen pada jalan ini, dan kita tidak akan pernah mencapai akhir jika kita berdebat seperti itu tentang kemungkinan manusia. Kita telah memulai pada jalan yang mustahil secara manusiawi! Semakin cepat kita menyelesaikan itu, semakin baik.

Nah, saudara lihat, hal-hal ini melanda awal kehidupan Kristen. Sadarlah segera bahwa ini adalah seperti ini, ini adalah komitmen dalam iman yang menyeluruh kepada Dia yang memanggil saudara. Dan komitmen itu termasuk dan melibatkan keyakinan bahwa Ia yang telah memanggil saudara akan melakukannya dan dapat melakukannya.

Hal yang sama muncul di sepanjang jalan dalam berbagai tahap kehidupan Kristen. Kita menghadapi krisis baru, tuntutan baru, sesuatu yang belum pernah kita temui sebelumnya, dan semua hal ini muncul; ini adalah sebuah pertempuran. “Tidak mengetahui tempat tujuannya” masih merupakan hukumnya dan ini akan tetap demikian; ini menjawab dorongan Ilahi di batin.

Dan ketika kita sampai pada akhirnya, ini akan seperti itu: Tidak mengetahui tempat tujuannya. Yohanes berkata, “belum nyata apa keadaan kita kelak’; “tetapi belum nyata apa keadaan kita kelak; akan tetapi kita tahu, bahwa apabila Kristus menyatakan diri-Nya, kita akan menjadi sama seperti Dia, sebab kita akan melihat Dia dalam keadaan-Nya yang sebenarnya.” Dan ini berlaku untuk pekerjaan kita, panggilan kita. Kami telah lebih dari sekali bertemu dengan orang-orang yang telah berusia; orang-orang yang hidupnya hampir habis dan mereka berkata kepada saya: “Aku pernah merasa bahwa aku harus mengambil jalan yang telah kamu ambil; bahwa aku harus memberikan hidup-ku untuk pelayanan Allah, tetapi aku mempertimbangkan segalanya, tentang apa yang terlibat, dan aku berkata, ‘Tidak’. Hari ini, hidup-ku telah meleset! Aku adalah seorang yang kecewa.” Oh, ini peringatannya: pernahkan saudara merasakan panggilan dan takdir itu, yang saudara tahu berasal dari Allah? Itu bukanlah apa yang saudara inginkan, itu tidak sejalan dengan beberapa ambisi saudara, tetapi saudara tahu bahwa Tuhan memanggil saudara. Apakah saudara mengikutinya? Di manakah saudara berada pada hari ini? Tuhan mungkin sedang mengucapkan kata-kata ingatan yang nyata, peringatan. Kita akan menemukan ini benar dalam panggilan kita. Ini sangat mustahil bagi manusia; kita tidak tahu apa artinya, dan ke mana arahnya, dan apa yang akan menjadi hasil dari semuanya; tetapi kita tahu satu hal: bahwa ada di dalam diri kita yang masih belum mati, ia masih hidup – ini adalah rasa panggilan asli kita. Dengarkanlah, dan tanggapilah.

Namun, setelah mengatakan semua itu di bawah tiga kata itu, “tidak mengetahui tempat tujuannya …” – apakah kita tidak tahu? Oh ya, kita mengetahuinya. Di dalam perjalanannya, semua yang telah saya katakan mungkin benar, dan kita mungkin berada dalam kebingungan itu berkali-kali, tidak mengetahui, dan harus bergerak dalam iman belaka – bukan dalam sesuatu yang tidak nyata, tetapi karena apa yang telah terjadi pada kita dan di dalam kita, dan masih ada di sana. Itu semua mungkin benar, namun, apakah akhirnya? Stefanus berkata tentang Abraham, “Allah yang Mahamulia telah menampakkan diri-Nya kepada bapa leluhur kita Abraham …”. Itu bisa diparafrasekan: ‘Allah dari kemuliaan dan kepada kemuliaan menampakkan diri-Nya kepada Abraham’ – Allah yang ada pada awalnya, dengan segala gerakan-Nya, Allah yang Mahamulia, dan memiliki pada akhirnya kemuliaan sebagai objek-Nya. Kemuliaan meliputi awal dan akhir: Allah yang Mahamulia.

Apakah itu terdengar jauh atau abstrak? Nah, dengarkan lagi kata-kata yang begitu saudara kenal. Mungkin mereka telah kehilangan pesonanya. Telah dinyatakan dengan jelas bahwa kita telah ditahbiskan untuk menjadi kemuliaan kasih karunia-Nya, dan boleh menjadi puji-pujian bagi kemuliaan-Nya; itu adalah akhirnya. ‘Kemuliaan kasih karunia-Nya’ – itu, kemudian, datang langsung ke dalam pengalaman misterius saat ini yang tidak dapat kita jelaskan, dan kita tidak tahu mengapa, ke mana, atau apa. Kasih karunia – kemuliaan kasih karunia-Nya! Puji-pujian bagi kemuliaan-Nya!

Apa ketakutan terbesar saudara? Saya memberi tahu saudara apa yang seharusnya menjadi ketakutan terbesar saudara. Ini seharusnya bahwa pada akhirnya saudara harus kehilangan kemuliaan Allah, kemuliaan yang terikat dengan panggilan saudara itu, bahwa saudara harus berakhir dengan kehilangan jalannya, bahwa saudara telah memilih beberapa alternatif lain. Tuhan membantu kita. Maafkan, jika kata-kata ini kedengarannya terlalu berat dan terlalu serius, tetapi saya tidak bisa menahannya. Saya hanya harus mengatakan apa yang Tuhan perintahkan untuk saya katakan. Dan kita semua perlu, bukankah demikian, dari waktu ke waktu, dibuat untuk mendengarkan panggilan yang mendasar: “Mari, ikuti!”


Sesuai dengan keinginan T. Austin-Sparks bahwa apa yang telah diterima secara bebas seharusnya diberikan secara bebas, karya tulisannya tidak memiliki hak cipta. Oleh karena itu, kami meminta jika Anda memilih untuk berbagi dengan orang lain, mohon Anda menghargai keinginannya dan memberikan semua ini secara bebas - tanpa d'ubah, tanpa biaya, bebas dari hak cipta dan dengan menyertakan pernyataan ini.